Selasa, 18 Agustus 2009

DISTRO IN BANDUNG

Anak Bandung Memang Beda

DIAKUI atau tidak, tumbuh suburnya kehadiran distro (distribution outlet) di Kota Bandung, tak lepas dari gaya hidup anak-anak muda kota ini. Anak-anak muda Bandung sejak dulu dikenal ingin selalu tampil beda, tak terkecuali dalam berbusana. Karena itu, kreativitas pun muncul, untuk kemudian menghasilkan beragam produk yang disesuaikan dengan kebutuhan untuk tampil beda tersebut.

Awalnya memang diproduksi dalam jumlah terbatas dan untuk pasar yang terbatas pula. "Awalnya memang dalam jumlah terbatas untuk kelompok tertentu, terutama pakaian seperti kaus, jaket, dan sweater. Namun, karena adanya keinginan dari kelompok lain untuk memiliki, pada akhirnya produkpun dijual keluar," ujar Mohamad Zaini Alif, S.Sn., M.Ds., staf pengajar seni rupa dan desain di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung dan Itenas Bandung.

Keberadaan distro di Kota Bandung sendiri, menurut Zaini, berangkat dari gaya hidup komunitas musik underground dan perlengkapan permainan skateboard di pertengahan tahun 1990-an. Salah satu penandanya adalah distro Reverse di kawasan Jalan Sukasenang yang menawarkan berbagai kaus oblong (T-shirt) grup musik asal luar negeri serta perlengkapan skateboard. Peluang yang diciptakan Reverse diikuti oleh pelaku industri kreatif lainnya. Dua di antaranya distro Hobbies yang mengkhususkan diri pada perlengkapan skateboard dan Mossy pada pakaian luar negeri.

Bak jamur di musim hujan, dalam perkembangan selanjutnya, bermunculan distro-distro dengan menawarkan berbagai barang khas yang ditawarkan. Ditunjang dengan kreativitas yang terus menjadi tuntutan pemenuhan gaya hidup di kalangan anak-anak muda Kota Bandung, berdirilah clothing company bernama 347 Boardrider.co., diikuti Ouval Research, Airplane, Harder, No Labels, Monik, dan Two Clothes, serta yang lainnya.

Bahkan di tahun 1996, distro-distro mulai berani untuk menampilkan produk-produk indielabel khas komunitas. "Secara perlahan namun pasti, sejumlah merek clothing kenamaan seperti Quiksilver, Ripcurl, Roxy, Insight, Billabong, dan Volcom ditinggalkan dan mereka menciptakan sendiri gaya hidup berbusana sesuai keinginan komunitas mereka," ujar Hidayat M.Z., salah seorang produser clothing di kawasan Surapati (Suci), yang mengkhususkan diri melayani distro luar pulau.

Dikatakan Hidayat, pertumbuhan distro di Kota Bandung bersamaan dengan tumbuhnya industri clothing di kawasan Surapati. Tahun 1990 merupakan masa kelahiran dari distro, masa pertumbuhan dirasakan produser clothing pada tahun 1998 dan memasuki tahun 2000 sejalan dengan deraan krisis yang terus menerpa menjadikan industri kreatif pakaian menjadi tumpuan terakhir.

"Semula kita menawarkan produk kita. Tetapi kini terbalik, kita melayani keinginan mereka, karena gaya hidup fashion telah menjadi tuntutan identitas tidak hanya di kalangan anak muda, tetapi juga melanda orang dewasa dan orang tua yang ingin tampil beda," ujar Hidayat.

Distro senbagai bagian integral dari kultur perlawanan indie, menurut Hidayat, menawarkan suatu pendekatan yang lebih segar bagi "indiemania" dalam mengekspresikan diri secara lebih terbuka di publik. Mereka awalnya hanya menjadikan T-shirt sebagai bagian dari barang jualan karena merupakan identitas utama komunitas anak muda dalam menunjukkan jati diri.

Namun dalam perkembangannya, distro juga menawarkan berbagai bentuk fashion berikut aksesorisnya serta buah tangan hasil kreativitas. Hingga pada akhirnya, seperti halnya industri pakaian, distro pun mengikuti selera konsumennya dan telah mengalami transformasi fungsi yang sangat signifikan ketika kalangan pengunjung tidak mengenal batas usia.

Ketua Kreative Independent Clothing Kommunity (KICK), Tb. Fiki Cikara Satari, saat menggelar KickFest 2008 lalu mengatakan, pelaku industri kreatif di Kota Bandung akan terus berjalan. "Selama sepuluh tahun terakhir kami berkembang dari komunitas hingga menjadi industri yang relatif maju saat ini. Hingga hadir Bandung Creative City (BCC) sebagai pengakuan sekaligus momentum yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mendongkrak pertumbuhan industri clothing," ujar Fiki.

Iklim kreativitas yang terus berkembang sejak dahulu di berbagai bidang seni mulai dari fashion, musik, hingga desain arsitektur, menjadi satu kesatuan dengan gaya hidup. "Hal inilah yang membedakan Kota Bandung dengan kota lainnya dan menjadikan Bandung sebagai barometer dalam kreativitas," tutur Fiki.

Khusus dalam produk pakaian khusus distro dengan harga terjangkau, menurut Fiki, kreativiatas distro dan gaya hidup akan berjalan beriringan dan terus berkembang mendominasi pasar domestik di tahun 2009. Hal ini ditandai dengan tumbuhnya konsep distro yang mulai masuk ke pusat-pusat perbelanjaan (mal). Perkembangan ini akan semakin menumbuhkan kreativitas yang mengarah pada entreprenuer dan menjadikan Kota Bandung tetap sebagai barometer gaya hidup dalam berbagai hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar